Selasa, 05 Juli 2011

Makalah Hadis Sebagai Ajaran Islam Ke_2

KATA PENGANTAR

Puji syukur atas kehadirat allah SWT yang telah memberikan rahmat hidayat serta pertolongan kepada kita semua solawat serta salam tidak lupa kami sanjungkan kepada Nabi Muhammad SAW yang kita nantikan syafaatnya di hari kiamat. Tujuan dari penulisan makalah ini adalah supaya bisa membantu memahami mata kuliah hadist bagi mahasiswa yang mempelajarinya. Di sini saya mencoba menguraikan kajian kajian terhadap hadist yang dimana hadist ini menerangkan sedikit tentang persaudaraan muslim apabila masih terdapat banyak kekurangan dalam penulisan makalah ini saya mohon maaf yang sebesar-besarnya.

Penulis



DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.............................................................................................................. i
DAFTAR ISI............................................................................................................................ ii
BAB 1 : PENDAHULUAN..................................................................................................... 1
A.    Latar Belakang....................................................................................................... 1
B.     Rumusan Masalah.................................................................................................. 2
C.     Tujuan.................................................................................................................... 2
BAB 2 : PEMBAHASAN........................................................................................................ 3
1.      Pengertian hadis...................................................................................................... 3
2.      Unsur-unsur hadis................................................................................................... 7
3.      Hikmah hadis......................................................................................................... 16
4.      Fungsi Hadis Terhadap Al-Qur’an......................................................................... 17
BAB 3 : PENUTUP................................................................................................................. 20
Kesimpulan................................................................................................................... 20

DAFTAR PUSTAKA………………………………………………………………………..21

 
1
BAB 1
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Hadits Nabi telah ada sejak awal perkembangan Islam adalah sebuah kenyataan yang tak dapat diragukan lagi. Hadits Nabi merupakan sumber ajaran Islam, di samping al-Qur'an. "Hadits atau disebut juga dengan Sunnah, adalah segala sesuatu yang bersumber atau didasarkan kepada Nabi SAW., baik berupa perketaan, perbuatan, atau taqrir-nya. Hadits, sebagai sumber ajaran Islam setelah al-Qur'an, sejarah perjalanan hadits tidak terpisahkan dari sejarah perjalanan Islam itu sendiri. Akan tetepi, dalam beberapa hal terdapat ciri-ciri tertentu yang spesipik, sehingga dalam mempelajarinya diperlukan pendekatan khusus".
Pada zaman Nabi, hadits diterima dengan mengandalkan hafalan para sahabat Nabi, dan hanya sebagian hadits yang ditulis oleh para sahabat Nabi. Hal ini disebabkan, "Nabi pernah melarang para sahabat untuk menulis hadits beliau. Dalam pada itu, Nabi juga pernah menyuruh para sahabat untuk menulis hadits beliau. Dalam sejarah, pada zaman Nabi telah terjadi penulisan hadits. misalnya berupa surat-surat Nabi tentang ajakan memeluk Islam kepada sejumlah pejabat dan kepala negara yang belum memeluk Islam. Sejumlah sahabat Nabi telah menulis hadits Nabi, misalnya Abdullah bin 'Amr bin al-'As (w.65 H/685 M), Abdullah bin 'Abbas (w.68 H/687 M), 'Ali bin Abi Thalib (w. 40 H/661 M), Sumrah (Samurah) bin Jundab (w. 60 H), Jabir bin Abdullah (w. 78 H/697 M), dan Abdullah bin Abi Aufa' (w.86 H). Walaupun demikian tidaklah berarti bahwa seluruh hadits telah terhimpun dalam catatan para sahabat tersebut.
Menurut H.Said Agil Husain al-Munawar, penulisan hadits bersifat dan untuk kepentingan pribadi. Dengan demikian, hadits-hadits yang ada pada para sahabat, yang kemudian diterima oleh para tabi'in memungkinkan ditemukan adanya redaksi yang berbada-beda. Sebab, ada yang meriwayatkannya sesuai atau sama benar dengan lafazh yang diterima dari Nabi (yang disebut dengan periwayatan bi al-lafzhi), dan ada yang hanya sesuai makna atau maksudnya saja (yang disebut dengan periwayatan bi al-ma'na), sedang redaksinya tidak sama. Lebih lanjut H.Said Agil Husain al-Munawar, mengatakan bahwa di antara para sahabat yang sangat ketat berpegang kepada periwayatan bi al-lafzhi, ialah Abdullah bin Umar. Menurutnya, tidak boleh ada satu kata atau huruf yang dikurangi atau ditambah dari yang disabdakan Rasul SAW.

Dengan demikian, hadits Nabi yang berkembang pada zaman Nabi (sumber aslinya), lebih banyak berlangsung secara hafalan dari pada secara tulisan. Penyebabnya adalah Nabi sendiri melarang para sahabat untuk menulis hadits-nya, dan menurut penulis karakter orang-orang Arab sangat kuat hafalannya dan suka menghafal, dan ada kehawatiran bercampur dengan al-Qur'an. Dengan kenyataan ini, sangat logis sekali bahwa tidak seluruh hadits Nabi terdokumentasi pada zaman Nabi secara keseluruhan.

B.     Rumusan Masalah
1.      Apa pengertian Hadis?
2.      Apa unsur-unsur Hadis?
3.      Apa hikmah Hadis?
4.      Fungsi Hadis terhadap Al-Quran?

C.    Tujuan
1.      Untuk mengetahui apa itu hadis.
2.      Untuk mengetahui apa unsur-unsur yang terkandung dalam hadis.
3.      Untuk mengetahui apa hikmah hadis.
4.      Untuk mengetahui apa fungsi hadis terhadap Al-Quran.







3
BAB 2
PEMBAHASAN

A.    Pengertian Hadits
Kata hadits merupakan isim (kata benda) yang secara bahasa berarti kisah, cerita, pembicaraan, percakapan atau komunikasi baik verbal maupun lewat tulisan. Bentuk jamak dari hadits yang lebih populer di kalangan ulama muhadditsin adalah alhadits,  dibandingkan bentuk lainnya yaitu hutsdan atau hitsdan.  Masyarakat Arab di zaman Jahiliyyah telah menggunakan kata hadits ini dengan makna “pembicaraan”, hal itu bisa dilihat dari kebiasaan mereka untuk menyatakan  “hari-hari mereka yang terkenal” dengan sebutan alhadits.
Ada sejumlah ulama yang merasakan adanya arti “baru” dalam kata hadits lalu mereka menggunakannya sebagai lawan kata qodim (lama), dengan memaksudkan qodim sebagai Kitab Allah, sedangkan yang “baru” ialah apa yang disandarkan kepada Nabi saw. Dalam Syarah al-Bukhari, Syaikh Islam Ibnu Hajar berkata: “Yang dimaksud dengan hadits menurut pengertian syara’ ialah apa yang disandarkan kepada Nabi saw. dan hal itu seakan-akan sebagai bandingan al-Qur’an adalah qodim.   
Di dalam al-Qur’an kata hadits disebut sebanyak 28 kali dengan rincian 23 dalam bentuk mufrad dan 5 dalam bentuk jamak (ahadits). Kata ini juga digunakan dalam kitab-kitab Hadits di banyak tempat. Di dalam karyanya Studies in Hadith Methodology and Literature, M.M. Azami, menguraikan pengertian hadits secara lebih rinci. Menurutnya, kata hadits yang terdapat dalam al-Qur’an maupun kitab-kitab Hadits secara literal mempunyai beberapa arti sebagai berikut:
1.      Komunikasi religius, pesan, atau al-Qur’an, sebagaimana terdapat dalam QS. al-Zumar: 23
اللَّهُ نَزَّلَ أَحْسَنَ الْحَدِيثِ كِتَابًا
Artinya:   “Allah telah menurunkan perkataan yang paling baik (yaitu) al-Qur’an”
Juga dalam Hadits Nabi yang diriwiyatkan oleh al-Bukhari: “Sesungguhnya sebaik-baik hadits (cerita) adalah Kitab Allah (al-Qur’an)”
2.      Cerita duniawi atau kejadian alam pada umumnya, seperti dalam al-Qur’an QS. al-An’am: 68:
وَإِذَا رَأَيْتَ الَّذِينَ يَخُوضُونَ فِي آَيَاتِنَا فَأَعْرِضْ عَنْهُمْ حَتَّى يَخُوضُوا فِي حَدِيثٍ غَيْرِهِ
Artinya: “Dan apabila kamu melihat orang-orang memperolok-olokkan ayat-ayat Kami, maka tinggalkanlah mereka sehingga mereka membicarakan pembicaraan yang lain”.
Juga dalam Hadits Nabi yang diriwayatkan oleh al-Bukhari: “Dan orang-orang yang mendengar hadits (cerita) sedangkan mereka benci terhadapnya”
3.      Cerita Sejarah (historical stories) sebagaimana terdapat dalam QS. Taha: 9
وَهَلْ أَتَاكَ حَدِيثُ مُوسَى
Artinya: “Dan apakah telah sampai kepadamu kisah Musa”.
Dan juga terdapat dalam Hadits Nabi: “Ceritakanlah mengenai Bani Israil dan tidak mengapa”
4.      Rahasia atau pecakapan yang masih hangat sebagaimana terdapat dalam QS. at-Tahrim: 3
وَإِذْ أَسَرَّ النَّبِيُّ إِلَى بَعْضِ أَزْوَاجِهِ حَدِيثًا
Artinya: “Dan ingatlah ketika Nabi membicarakan secara rahasia kepada salah seorang dari isteri-isterinya suatu peristiwa”
Juga dalam Hadits Nabi yang diriwayatkan oleh al-Tirmizy: “Apabila seseorang mengungkapkan hadits (rahasia) kemudian kemudian dia mengembara maka kata-katanya adalah suatu amanah”

Secara terminologi, ahli hadits dan ahli ushul berbeda pendapat dalam memberikan pengertian hadits. Di kalangan ulama hadits sendiri pada umumnya mendefinisikan hadist sebagai segala sabda, perbuatan, taqrir (ketetapan), dan hal ikhwal yang disandarkan kepada Nabi Muhammad saw. Masuk ke dalam pengertian “hal ikhwal” segala yang diriwayatkan dalam kitab-kita tarikh, seperti hal kelahirannya, tempatnya, dan yang bersangkut paut dengan itu, baik sebelum diutus maupun sesudah diutus. Berdasarkan definisi tersebut, maka bentuk-bentuk Hadits dapat dibedakan sebagai berikut:
1.      Sabda
2.      Perbuatan
3.      Taqrir (ketetapan)
4.      Hal ikhwal Nabi saw.
Kalangan ulama Ushul mendefinisikan hadits sebagai segala perkataan, perbuatan, dan taqrir Nabi saw. yang berkaitan dengan hukum. Oleh karena itu, tidak masuk dalam kategori hadits sesuatu yang tidak bersangkut paut dengan hukum seperti urusan pakaian.
Jika kita membuka Kitab-kitab Hadits, maka akan segera kita dapatkan banyak riwayat yang tidak berkenaan dengan ucapan, perbuatan, taqrir Nabi, melainkan berkenaan dengan sahabat-sahabat Nabi. Bahkan ada beberapa riwayat yang berkenaan dengan tabi’in. Jalaluddin Rahmat dalam artikelnya memberikan contoh tentang hal ini melalui hadits yang diriwayatkan oleh al-Bukhari dan an-Nasa’i yang berisi tentang khutbah yang disampaikan oleh Marwan bin Hakam, juga tentang tangkisan Abu Hurairah kepada orang-orang yang menyatakan bahwa dirinya terlalu banyak meriwayatkan Hadits. Hal ini jelas menjadikan definisi hadits di atas tersebut rancu.
Itulah sebabnya maka muncul istilah hadits mauquf, dan hadits maqtu’, suatu istilah yang mengandung kontradiksi terma, karena bukan hadits bila tidak berkenaan dengan Nabi. Kenyataan ini kemudian mendorong sebagian ulama memperluas definisi hadits. Nur al-Din ‘Itr misalnya, menganggap definisi hadits yang paling tepat adalah “apa yang disandarkan kepada Nabi saw. berupa ucapan, perbuatan, taqrir, sifat-sifat fisik atau etik dan apa saja yang dinisbatkan kepada para sahabat dan tabi’in”. Akan tetapi definisi ini kurang populer di kalangan Muhadditsin. Di samping itu, Hasbi As-Shiddieqy juga mengutip pendapat At-Thiby yang berpendapat bahwa: “Hadits itu melengkapi sabda, perbuatan, dan taqrir Nabi saw; melengkapi perkataan, perbuatan, dan taqrir sahabat, sebagaimana melengkapi pula perkataan, perbuatan, dan taqrir tabi’in.” Dengan demikian, terbagilah hadits kepada sembilan bagian.

Perkembangan Pengertian Hadits
Istilah “hadits” pada awalnya tidaklah serta merta dipahami sebagai sabda, perbuatan, taqrir dan hal ihwal Nabi saw., sebagaimana definisi di awal. Jika diperhatikan, istilah “hadits” mengalami beberapa perkembangan pengertian yang sangat signifikan. M. Syahudi Ismail mencatat, mula-mula hadits mengandung pengertian berita-berita atau cerita-cerita (kisah), baik berhubungan dengan masa lampu atau maupun yang baru saja terjadi. Pengertian seperti ini paralel dengan ucapan Abu Hurairah kepada kaum Anshar. “Apakah kamu ingin aku ceritakan kepadamu tentang hadits (kisah) dari kisah-kisah Jahiliyah”.  
Pada tahap selanjutnya, istilah hadits digunakan untuk menunjuk khabar (berita-berita) yang berkembang dalam masyarakat keagamaan secara umum, yakni belum dipisahkan antara khabar yang berupa al-Qur’an dan kahabar yang berupa sabda Nabi saw. Hal ini didukung oleh riwayat dari Ibnu Mas’ud yang menyatakan: “Sesungguhnya sebaik-baik hadits adalah Kitab Allah dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad.” Dalam Hadits tersebut, Ibnu Mas’ud mensifatkan al-Qur’an dengan sebaik-baik hadits.
Pada akhirnya, hadits digunakan secara ekslusif untuk menunjuk Hadits-hadits Rasulullah saw. saja. Penyempitan makna hadits, yakni khusus untuk menunjuk pada Hadits Nabi saja ini, bahkan telah dimulai pada masa Nabi. Hal ini bisa dilihat dari sebuah Hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah, yakni ketika Abu Hurairah bertanya kepada Rasulullah saw. “Siapakah orang yang paling berbahagia dengan syafa’atmu di hari kiamat?Kemudian Rasul menjawab, “Wahai Abu Hurairah, sungguh aku telah menyangka bahwa tak ada seorangpun yang bertanya kepadaku mengenai hadits ini yang lebih dahulu dari kamu, karena aku melihat dari perhatianmu terhadap Hadits.”
Dengan demikian dapat ditegaskan bahwa penggunaan istilah hadits mengalami perkembangan. Pada awalnya, hadit dipergunakan untuk menunjuk pada cerita-cerita dan berita-berita secara umum, kemudian mengalami pergeseran, hadits dimaksudkan sebagai khabar-khabar yang berkembang dalam masyarakat keagamaan tanpa memindahkan maknanya dari konteks yang umum dan pada akhirnya, hadit secara ekslusif digunakan untuk menunjuk cerita-cerita tentang Rasulullah saw.
Mengapa pergeseran pengertian hadits ini terjadi? Mustafa Azami menjelaskan, bahwa pada masa awal Islam, cerita-cerita dan perkataan Nabi mendominasi atas segala macam komunikasi dan cerita-cerita yang lain di kalangan masyarakat pada waktu itu. Kata hadits semakin lama menjadi semakin ekslusif dan sering digunakan di kalangan bangsa Arab untuk memaksudkan hal-hal yang bersumber pada nabi. Sampai akhirnya dengan berlalunya waktu, perkataan hadits menjadi khusus dipergunakan untuk segala informasi dan komunikasi yang datang dari Nabi saw.    

B.     Unsur-Unsur Hadis
Seorang yang tidak meliha dengan mata kepala sendiri suatu peristiwa masih dapat mengetahuinya melalui pemberitaan. Persoalannya, tidak semua pemberitaan itu benar. Ada pemberitaan yang bias, atau sengaja di buat keliru. Oleh karena itu, perlu ada upaya untuk melakukan klarifikasi atas berita-berita yang di terima agar tidak keliru dalam menilai suatu peristiwa di masa lalu.
Kebenaran suatu berita sangat di tentukan oleh kualitas pewarta, yang darinya suatu berita diterima. Jika pewarta bertingkat-tingkat, maka pewarta terakhir harus mampu menunjukan kesinambungan urutan pewarta sebelumnya sampai kepewarta-pewarta pertama, yang mengantarkan berita tersebut hingga sampai kepada dirinya. Demikian halnya dengan hadis Nabi SAW. Untuk menerima hadis dari Nabi Muhammad unsur-unsur tersebut, yakni pewarta (rawi), materi berita (matnul hadis) dan sandaran berita (sanad). Satupun tidak dapat ditinggalkan.
A.    RAWI
1.      Ta’rif Rawi
Rawi adalah orang menyampaikan atau menuliskan dalam suatu kitab apa yang pernah didengar dan diterimanya dari seseorang (guru). Bentuk jamaknya ruwah dan perbuatannya menyampaikan hadis tersebut dinamakan me-rawi (meriwayatkan hadis). Seorang penyusun atau pengarang, bila hendak menguatkan suatu hadis yang ditakhrijkan dari suatu kitab hadis pada umumnya membubuhkan nama rawi (terakhirnya) yakni salah satunya Imam Muslim, Imam Bukhari, Abu Daud, Ibnu Mazah, dan lain sebagainya, pada akhir matnul hadis. Ini berarti bahwa rawi yang terkhir bagi kita semisal Bukhari dan Muslim, kendatipun jarak kita dan beliau sangat jauh dan tidak segenerasi, namun demikian kita dapat menemui dan menguji kitab beliau, yang hal ini merupakan sanad yang kuat bagi kita bersama
2.      Sistem Para Penyusun Kitab Hadis dalam Menyebutkan Nama Rawi yang Terakhir
Untuk menghemat mencantumkan nama-nama rawi yang banyak jumlahnya, penyusun kitab hadis, biasanya tidak mencantumkan nama-nama para perawi secara keseluruhan, melainkan hanya merumuskan dengan bilangan yang menunjukan banyak atau sedikitnya rawi hadis pada akhir matnul hadisnya. Misalnya rumusan yang di ciptakan oleh Ibnu Isma’il as-Shan’any dalam kitab Subulus-Salam:
a.      Akhrajahus-Sab’ah: Imam Ahmad, Imam Bukhari, Imam Muslim, Abu Dawud, Turmidzi, An-Nasa’iy, dan Ibnu Majah.
b.      Akhrajahus-Sittah: diriwayatkan oleh enam rawi, yakni tujuh rawi diatas kecuali Imam Ahmad.
c.      Akhrajahul-Khamsah: diriwayatkan oleh lima orang rawi, yakni tujuh rawi diatas, di kurangi Buklhari dan Muslim. Rumusan ini dapat diganti dengan istilah Akhrajahul-Arba’ah wa Ahmad.
d.     Akhrajahul-Arba’ah: Ashabus-Sunan yang empat yakni Abu Dawud, At-Turmidzi, An-Nasa’iy, dan Ibnu Majah.
e.      Akhrajus-Tsalatsah: diriwayatkan oleh tiga orang rawi yakni Abu Dawud, At-Turmidzi, dan An-Nasa’iy.
f.       Akhrajahus-Syaikhain: diriwayatkan dua imam hadis yakni Bukhari dan Muslim.
g.      Akhrajahul-Jama’ah: diriwayatkan oleh rawi-rawi hadis yang banyak jumlahnya.
h.      Muttafakun ‘Alaih: diriwayatkan oleh Bukhari, Muslim, dan Imam Ahmad (rumusan yang diciptakan oleh Mansur Ali Nashif).

3.      Bentuk dan Sistem Para Muhadditsin dalam Menyusun Kitab Hadis
Dalam menghimpun dan menyusun kitab-kitab hadis para muhaditsin menggunakan tiga bentuk:
a.       Takhrij
Istilah takhrij dalam penggunaan fi’il Madlinya memakai kata akhraja yang mempunyai tiga pengertian yakni: Suatu usaha menjadi sanad hadis yang terdapat dalam sebuah kitab hadis karya orang lain menyimpang dari pada sanad hadis karya orang lain tersebut. Usaha mukharrij (orang yang mentakhrijkan) tersebut di himpun dalam sebuah kitab, dn kitab yang demikian inilah yang disebut Mustakhraj misalnya: Mustakhraj Abu Nu’aim adalah salah satu kitab takhrij hadis soheh Bukhari, dan takhrij Ahman bin Hamdan adalah salah satu dari kitab mustakhraj soheh Muslim.
Suatu penjelasan dari penyusun hadis bahwa hadis yang dinukilnya terdapat dalam kitab hadis yang telah disebut nama penyusunnya. Misalnya apabila pada nuklin hadisnya menggunakan istilah akhrajahul Bukhari, hadis itu dinukil dari kitab Sohih Bukhari. Suatu istilah penyusun hadis untuk mencari derajat, sanad, dan rawi hadis yang diterangkan oleh pengarang suatu kitab.
b.      Tashnif
Tashnif ialah usaha menhimpun/menyusun beberapa hadits ( kitab hadits ) dengan membubuhi keterangan mengenai arti kalimat yang sulit-sulit dan memberikan interpretasi sekedarnya . Kalau dalam memberikan interpretasi itu dengan jalan memberikan dan menjelaskan dengan hadits lain,dengan ayat-ayat Al-Qur’an atau ilmu-ilmu yang lain, maka usaha semacam ini disebut men-syarah-kan, misalnya: shahihu’l Bukhary bi Syahri’l Kirmany, oloeh Muhammad Ibn Yusuf Al-Kirmany.
c.       Ikhtishar
Ikhtishar ialah suatu usaha untuk meringkaskan kitab-kitab Hadits. Yang diringkas biasanya ialah sanadnya dan hadits-hadits yang telah berulang-ulang disebutkan oleh pengarang semula, tidak perlu ditulis kembali.Diantara mukhtasharShahih Bukhary ialah kitab Mukhtasharul Bukhary, karya Abul Abbas Al-Qurtuby. Perbedaan antara kitab Mustakhraj dan Mukhtashar ialah Kitab Mushtakhraj itu tidak perlu adanya persesuaian lafadh dengan kitab yang di takhrijkan bahkan kadang ditemui adanya perbedaan lafadh dan perubahan yang sangat menonjol, sehingga mengakibatkan perbedaan arti.
4.      Gelar Rawi Hadits
Para imam ahli hadits mendapat berbagai gelar sesuai keahlian dibidang ilmu hadits yang dimilikinya, termasuk kemampuannya menghafal ribuan hadits. Gelar yang di maksud adalah sebagai berikut:
a.       Amirul Mukminin fil Hadits
Gelar ini diberikan kepda khalifah setelah khalifah Abu Bakar As-Shidiq. Mereka yang memperoleh gelar ini antara lain Syu’bah Ibnu al-Halaj, Sofyan ats-Tsauri, Ishak Ibnu Rahawaih, Ahmad Ibnu Hambal, Bukhari ad-Daruqutni, dan Muslim.
b.      Al-Hakim
Yaitu gelar keahlian bagi imam-imam hadits yang menguasai seluruh hadits yang marwiyah (diriwayatkan), baik matan, maupun sanadnya dan mengetahui ta’dil (terpuji) dan tajrih (tercela)-nya rawi-rawi. Setiap rawi di ketahui sejarah hidupnya, perjalanannya, guru-guru, dan sifat-sifatnya yang dapat duterima maupun di tolak. Beliau harus dapat menghafal hadits lebih dari 300.000 hadits beserta sanadnya. Yang dapat belar ini antara lain Imam Syafi’i dan Imam Malik.
c.       Al-Hujjah
Yaitu gelar para imam ahli hadits yang mampu menghafal 300.000 hadits baik matan, sanad, maupun ikhwal biografi para perawinya termasuk tentang keadilan dan cacat yang dimilikinya. Diantara mereka adalah Hisyam bion Urwah (wafat 146 H), Muhamad bin al-Walid (wafat 149 H) dan Muhamad Abdullah bin Amr (wafat 242 H).
d.      Al-Hafidz
Merupakan gelar yang di berikan kepada ahli hadits yang dapat menshahihkan sanad dan matan hadits serta dapat menunjukan keadilan maupun cacat perawinya. Al-Hafidz mampu menghafal 100.000 hadits. Di antaranya adalah Al-Iraqiy, Syarafuddin ad-Dimyathi, Ibnu Hajar al-Asqolani dan Ibnu Daqiqil id.
e.       Al-Muhadditsin
Ada yang berpendapat bahwa Al-Muhadits sama dengan Al-Hafidz namun belakangan, Al-Muhaddis diberikan kepada orang yang mampu nengetahui sanad, illat, nama rawi, tinggi rendahnya derajat hadits dan memahami kutubus-Sittah, musnad Imam Ahmad, Sunan Baihaqi, Mu’jam Thabrani. Ia juga mampu menghafal 1.000 hadits di antaranya adalah Atha’ bin Abi Ribah (wafat 115 H) dan Imam Az-Zabidi (ulama yang meringkas kitab Bukhari-Muslim).
f.       Al-Musnid
Yakni gelar kleahlian bagi orang yang meriwayatkan hadits beserta sanadnya baik menguasai ilmunya atau tidak. Al-Musnad juga di sebut dengan At-Thalib, Al-Mubtadi’ dan Ar-Rawi.

B.     MATNUL HADITS
Kata matan menurut bahasa berarti: keras, kuat, suatu yang nampak dan yang asli. Dalam perkembangan karya penulisan ada matan dan syarah. Matan disini di maksudkan karya atau karangan asal seseorang yang pada umumnya menggunakan bahasa yang universal, padat, dan singkat. Dimaksudkan dalam konteks hadits, hadits sebagai matan kemudian diberikan syarah atau penjelasan yang luas oleh para ulama, misalnya Shahih Bukhari disyarahkan oleh Al-Asqolani dengan nama Fath al-Bari’ dan lain-lain.
Yang di sebut dengan matnul hadits, ialah pembicaraan (kalam) atau materi berita yang diover oleh sanad yang terakhir. Baik pembicaraan itu sabda Rasulullah saw, sahabat atau tabi’in. Baik isi pembicaraan itu tentang perbuatan Nabi, maupun perbuatan sahabat yang tidak di sanggah oleh Nabi. Misalnya, Al-Hakim meriwayatkan bahwa Rasulullah saw bersabda,”Penghulu syuhada adalah Hamzah dan orang yang berdiri dihadapan penguasa untuk menasehatinya lantas ia dibunuh karenanya”. Pernyataan demikian merupakan matan (isi dari sebuah hadits) yang diriwayatkan oleh Imam Malik. Contoh lain, Imam Bukhari dan Imam Muslim meriwayatkan bahwa Rasulullah saw bersabda,”Masyarakat itu berserikat dalam tiga barang: air, padang gembalaan, dan api”. Sabda Rasul tersebut merupakan matan hadits yang diriwayatkan oleh kedua perawi hadits tersebut.

C.     SANAD
1.      Arti Sanad
Sanad atau thariq, ialah jalan yang dapat menyambungkan matnul hadits kepada junjungan kita Nabi Muhammad saw. Dalam bidang ilmu haduts sanad itu merupakan neraca untuk menimbang shahih atau dhaifnya. Andai kata salah seorang dalam sanad ada yang fasik atau yang tertuduh dusta atau jika setiap para pembawa berita dalam mata rantai sanad tidak bertemu langsung (muttashil), maka hadits tersebut dhaif sehingga tidak dapat dijadikan hujja. Demikian sebaliknya jika para pembawa hadits tersebut orang-orang yang cakap dan cukup persyaratan, yakni adil, takwa, tidak fasik, menjaga kehormatan diri (muru’ah), dan memilikimdaya ingat yang kredibel, sanadnya bersambung dari satu periwayat ke periwayat lain sampai pada sumber berita pertama, maka haditsnya dinilai shahih.
Tidak layak naik ke loteng atau atap rumah kecuali dengan tangga. Maksud tangga adalah sanad, jadi seseorang tidak akan mungkin sampai kepada Rasulullah dalam periwayatan hadits melainkan harus melalui sanad. Pernyataan di atas memberikan petunjuk, bahwa apabila sanad suatu hadits benar-benar dapat di pertanggung jawabkan keshahihannya, maka hadits itu pada umumnya berkualitas shahih dan tidak ada alasan untuk menolaknya. Studi sanad khusus hanya dimiliki umat Muhammad, umat-umat terdahulu sekalipun dalam penghimpunan kitab suci mereka dan juga tidak ditulis pada masa Nabi nya tidak disertai sanad. Padahal ditulis setelah ratusan tahun dari masa Nabi nya. Kitab suci mereka ditulis berdasarkan ingatan beberapa generasi yang dinisbatkan pada Nabi Isa yang tidak di sertai dengan sanad.

2.      Arti Isnad, Musnid dan Musnad
Usaha seseorang ahli hadits dalam menerangkan sebuah hadits yang diikutinya dengan penjelasan kepada siapa hadits itu disandarkan, disebut meng-isnad-kan hadits. Hadits yang telah di isnadkan oleh si Musnid (orang yang mengisnadkan) disebut dengan hadits musnad. Misalnya musnad Asy-Syihhab dan musnad Al-Firdaus, merupakan kumpulan hadits yang telah di isnadkan oleh Asy-Syihhab dan Al-Firdaus. Selain itu musnad dapat juga berarti :
a.      Hadits yang marfu’ lagi muttasil (sanadnya bersambung-sambung, tidak terputus)
b.     Nama kitab yang menghimpun seluruh hadits yang diriwayatkan oleh para sahabat. Dalam kitab musnad ini, nama shahabatlah yang di ketengahkan sebagai maudlu’ (objek). Semua hadits yang diriwayatkan oleh seorang shahabat terhimpun dalam satu kelompok, tanpa diklasifikasikan isinya dan tanpa disisihkan antara makna hadits yang shahih dan yang dlaif.
3.      Tinggi Rendahnya Rangkaian Sanad
Sebagaimana dimaklumi, bahwa suatu hadits sampai kepada kita melalui sanad-sanad. Setiap sanad bertemu dengan rawi yang dijadikan sandaran menyampaikan berita (sanad setingkat lebih di atas), sehingga seluruh sanad itu merupakan suatu rangkaian. Rangkaian sanad itu adalah berderajat tinggi, sedang dan lemah, mengingat perbedaan ke-dlabith-an (kesetiaan ingatan) dan keadilan rawi yang dijadikan sanadnya. Rangkaian sanad yang berderajat tinggi menjadikan suatu hadits lebih tinggi derajatnya dari pada hadits yang rangkaian sanadnya sedang atau lemah. Para muhaditsin membagi tingkatan sanadnya menjadi tiga bagian,yaitu:
a.       Ashahhul Asanid (sanad-sanad yang lebih shahih), contoh Ashahhul Asanid dari sahabat tertentu yaitu, Umar bin Khaththab r.a., ialah yang diriwayatkan oleh Ibnu Syihab Az-Zhuhri dari Salim bin Abdullah bin Umar, dari ayahnya (Abdullah bin Umar), dari kakeknya (Umar bin Khaththab).
b.      Ahsanul Asanid (sanad-sanad yang lebih hasan). Sanad ini lebih rendah derajatnya daripada yang bersanad Ashahhul Asanid. Contoh bila hadis tersebut bersanad antara lain : Bahaz bin Hakim dari ayahnya (Hakim bin Mu’awiyah) dari kakeknya (Mu’awiyah bin Haidah) dan Amru’ bin Syuaib dari ayahnya (Syuaib bin Muhamad) dari kakeknya (Muhamad bin Abdillah bin Amr bin Ash).
c.       Adl’aful Asanid (sanad-sanad yang lebih lemah), rangkaian sanad yang Adl’aful Asanid salah satunya adalah : Abu Bakar As-Shidiq r.a., ialah yang diriwayatkan oleh Shadaqah bin Musa dari Abi Ya’qub Farqad bin Ya’qub dari Murrah Ath-Thayyib dari Abu Bakar r.a.

Riwayat Penguat
Dalam sebuah hadis, ada permasalahan bahwa hadis tersebut mempunyai kualitas yang lemah, bisa jadi karena hanya diriwayatkan oleh seorang perawi.  Kondisi tersebut bisa meningkat kualitasnya, dengan adanya riwayat penguat yaitu : Status Mutaba'ah, Syawahid dan Mahfudz.
1.      Pengertian Mutaba'ah
Ada yang menyamakan Mutabi’ dengan syahid, tetapi ada juga yang membedakan. Adapun yang membedakannya mendefinisikan
pengertian mutaba’ah atau mutabi’ adalah suatu riwayat yang mengikuti periwayatan orang lain dari guru yang terdekat atau gurunya guru. Atau dengan pengertian hadis mutabi’ adalah hadis yang diriwayatkan oleh periwayat lebih dari satu orang dan terletak bukan pada tingkat sahabat Nabi. Riwayat mutabi’ biasanya berada pada tingkat tabi’in, oleh karenanya disebut dengan mutabi’ kalau penguat tersebut ada pada tabi’in. Mutabi’ di sini biasanya menjadi penguat bagi riwayat hadis lain yang kurang kuat.
Pembagian Mutaba'ah, Riwayat mutabi’ terbagi menjadi dua macam, yaitu :
a.       Mutabi’ tam, yaitu apabila periwayat yang lebih dari satu orang itu menerima hadis tersebut dari guru yang sama. Atau apabila periwayatan mutabi’ itu mengikuti periwayatan guru (mutaba’a) dari yang terdekat sampai guru yang terjauh.
b.      Mutabi’ Qashr, yaitu apabila para periwayat tersebut menerima hadis itu dari guru yang berbeda-beda atau apabila periwayatan mutabi’ itu mengikuti periwayatan guru yang terdekat saja, tidak sampai mengikuti gurunya guru yang jauh sama sekali.
2.      Pengertian Syawahid
Riwayat syawahid adalah riwayat lain yang diriwayakan dengan cara meriwayatkannya dengan sesuai maknanya. Ada yang mendefinisikan, syahid adalah hadis yang periwayat di tingkat sahabat Nabi terdiri dari lebih seorang. Syawahid ini pada intinya juga sebagai riwayat penguat atas riwayat yang lain, tetapi biasanya penguat tersebut ada pada tingkat sahabat.
Syawahid ini terbagi menjadi dua, yaitu :
a.       Syahid bi al-Lafdz, yaitu apabila matan hadis yang diriwayatkan oleh sahabat yang lain sesuai dengan redaksi  dan maknanya dengan hadis yang dikuatkan.
b.      Syahid bi al-makna, yaitu apabila matan hadis yang diriwayatkan oleh sahabat yang lain, namun hanya sesuai dengan maknanya secara umum.
3.      Pengertian Mahfudz
Mahfudz adalah suatu riwayat yang mempunyai ketersambungan sampai pada Nabi. Mahfudz bisa masuk dalam kategori sanad dan matan. Riwayat mahfudz adalah kebalikan dari riwayat yang mengandung syadz, oleh karenanya bisa dijadikan sebagai penguat dari syadz itu sendiri.


C.    Hikmah Hadis
1.      TAUBAT
“Barangsiapa yang bertobat sebelum matahari terbit dari barat, niscaya Allah akan mengampuninya”
HR. Muslim.“Sesungguhnya Allah Azza wa Jalla menerima tobat seorang hamba selama ruh belum sampai ketenggorokan”.

2. KELUAR UNTUK MENUNTUT ILMU
“Barangsiapa menempuh suatu jalan untuk menuntut ilmu, niscaya Allah memudahkan baginya dengan (ilmu) itu jalan menuju surga” HR. Muslim.

3. SENANTIASA MENGINGAT ALLAH
“Inginkah kalian aku tunjukkan kepada amalan-amalan yang terbaik, tersuci disisi Allah, tertinggi dalam tingkatan derajat, lebih utama daripada mendermakan emas dan perak, dan lebih baik daripada menghadapi musuh lalu kalian tebas batang lehernya, dan merekapun menebas batang leher kalian. Mereka berkata: “Tentu”, lalu beliau bersabda: ( Zikir kepada Allah Ta`ala )” HR. At Turmidzi.

4. BERBUAT YANG MA`RUF DAN MENUNJUKKAN JALAN KEBAIKAN
“Setiap yang ma`ruf adalah shadaqah, dan orang yang menunjukkan jalan kepada kebaikan (akan mendapat pahala) seperti pelakunya” HR. Bukhari.

5. BERDA`WAH KEPADA ALLAH
“Barangsiapa yang mengajak (seseorang) kepada petunjuk (kebaikan), maka baginya pahala seperti pahala orang yang mengikutinya, tanpa mengurangi pahala mereka sedikitpun” HR. Muslim.

6. MENGAJAK YANG MA`RUF DAN MENCEGAH YANG MUNGKAR.
“Barangsiapa diantara kalian melihat suatu kemungkaran, maka hendaklah ia mengubah kemungkaran itu dengan tangannya, jika ia tidak mampu maka dengan lisannya, jika ia tidak mampu (pula) maka dengan hatinya dan itu adalah selemah-lemahnya iman” HR. Muslim.

7. MEMBACA AL QUR`AN
“Bacalah Al Qur`an, karena sesungguhnya ia akan datang pada hari kiamat untuk memberikan syafa`at kepada pembacanya” HR. Muslim.

8. MEMPELAJARI AL QUR`AN DAN MENGAJARKANNYA
“Sebaik-baik kalian adalah orang yang mempelajari Al Qur`an dan mengajarkannya” HR. Bukhari.

9. MENYEBARKAN SALAM
“Kalian tidak akan masuk surga sehingga beriman, dan tidaklah kalian beriman (sempurna) sehingga berkasih sayang. Maukah aku tunjukan suatu amalan yang jika kalian lakukan akan menumbuhkan kasih sayang di antara kalian? (yaitu) sebarkanlah salam” HR. Muslim.

10. MENCINTAI KARENA ALLAH
“Sesungguhnya Allah Ta`ala berfirman pada hari kiamat: ((Di manakah orang-orang yang mencintai karena keagungan-Ku? Hari ini Aku akan menaunginya dalam naungan-Ku, pada hari yang tiada naungan selain naungan-Ku))” HR. Muslim.

D.    Fungsi Hadis Terhadap Al-Qur’an
Sudah kita ketahui bahwa hadis mempunyai kedudukan yang sangat penting dalam ajaran Islam. Ia menempati posisi kedua setelah Al-Qur’an. Al-Qur’an sebagai sumber ajaran pertama memuat ajaran-ajaran yang bersifat umum (global), yang perlu dijelaskan lebih lanjut dan terperinci. Di sinilah, hadis menduduki dan menmpati fungsinya sebagai sumber ajaran kedua. Ia menjadi penjelas (mubayyin) isi Al-Qur’an. Hal ini sesuai dengan firman Allah SWT:
Artinya:
Keterangan-keterangan (mukjizat) dan kitab-kitab. Dan kami turunkan kepadamu Al-Qur’an agar kamu menerangkan kepada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan. (Q.S. An-Nahl (16):44)

Dalam hubungan dengan Al-Qur’an, hadis berfungsi sebagai penafsir, pensyarah dan penjelas dari ayat-ayat Al-Qur’an tersebut. Apabila disimpulkan tentang fungsi hadis dalam hubungan dengan Al-Qur’an adalah sebagai berikut.
1.      Bayan At-Tafsir
Yang dimaksud dengan bayan at-tafsir adalah menerangkan ayat-ayat yang sangat umum, mujmal, dan musytarak. Fungsi hadis dalam hal ini adalah memberikan perincian (tafsir) dan penafsiran terhadap ayat-ayat Al-Qur’an yang masih mujmal, memberikan taqyid ayat-ayat yang masih muthlaq, dan memberikan takhshish ayat-ayat yang masih umum.

2.      Bayan At-Taqrir
Bayan at-taqrir atau sering juga disebut dengan bayan at-ta’kid dan bayan al-itsbat adalah hadis yang berfungsi untuk memperkokoh dan memperkuat pernyataan Al-Qur’an. Dalam hal ini, hadis hanya berfungsi untuk memperkokoh isi kandungan Al-Qur’an. Contoh bayan at-taqrir adalah hadis Nabi SAW yang memperkuat firman Allah Q.S. Al-Baqarah (2):185, yaitu:

Artinya:
..... Karena itu, barang siapa yang mempersaksikan pada waktu itu bulan, hendaklah ia berpuasa ..... (Q.S. AL-Baqarah (2):185)

3.      Bayan An-Nasakh
Secara bahasa, an-naskh bisa berarti al-ibthal (membatalkan), al-ijalah (menghilangkan), at-tahwil (memindahkan), atau at-tagyir (mengubah).
Para ulama, baik mutaqaddimin maupun muta’akhirin berbeda pendapat dalam mendefenisikan bayan an-naskh. Perbedaan ini terjadi karena perbedaan di antara mereka dalam mendefenisikan kata naskh dari segi kebahasaan.





20
BAB 3
PENUTUP

Kesimpulan
Kata hadits merupakan isim (kata benda) yang secara bahasa berarti kisah, cerita, pembicaraan, percakapan atau komunikasi baik verbal maupun lewat tulisan.

Untuk menerima hadis dari Nabi Muhammad unsur-unsur tersebut yakni pewarta (rawi), materi berita (matnul hadis) dan sandaran berita (sanad).

1.      taubat
2.      keluar untuk menuntut ilmu
3.      senantiasa mengingat allah
4.      berbuat yang ma`ruf dan menunjukkan jalan kebaikan
5.      berda`wah kepada allah
6.      mengajak yang ma`ruf dan mencegah yang mungkar.
7.      membaca al qur`an
8.      mempelajari al qur`an dan mengajarkannya
9.      menyebarkan salam
10.  mencintai karena allah

Dalam hubungan dengan Al-Qur’an, hadis berfungsi sebagai penafsir, pensyarah dan penjelas dari ayat-ayat Al-Qur’an tersebut.






DAFTAR PUSTAKA


Tidak ada komentar:

Posting Komentar